Berbagilah walau satu rupiah! Bersedekah meski hanya seuntai senyum! Bersedekah, berbagi, dan bahagia ^^

Bukan Tak Cinta

Jika aku tak mau bercakap denganmu saat ini
Bukan berarti tak ada cinta di hati
Tunggulah sampai tiba waktu yang di nanti
Saat agama telah merestui
Tidak ada yang bisa menghalangi
Dan kita akan bercakap tanpa henti
Dari janji sampai mati
Abaikan pusisi di atas. Saya akan membahas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang telah lama di pendam. Tentang cinta dan pembuktian.

Agama Telah Sempurna

Beberapa hari yang lalu beberapa orang sahabat bertanya tentang hukum tiga hari, lima hari, dan tujuh hari sesudah kematian. Di daerah saya ritual ini disebut aruwa sedangkan untuk masyarakat Indonesia disebut tahlilan.

Sebelumnya saya mohon maaf jika nantinya ada kata-kata yang kurang berkenan di hati. Jika salah mohon ditegur. Saya sudah berusaha menyusun kalimat-kalimat ini dengan penuh hati-hati. Agar bisa diterima oleh banyak hati.

Berdasarkan yang saya amati dalam masyarakat, ritual ini seakan-akan adalah ajaran agama. Jika tak dilaksanakan akan berakibat dosa. Sampai-sampai, untuk ritual itu banyak keluarga yang hutang sana-sini. Ini fakta di sekitar saya. Bahkan saya sendiri pernah menjadi korban.

Semua orang islam yakin bahwa agama ini telah sempurna. Apa arti sempurna? Sempurna berarti lengkap, tak perlu ditambah-tambah. Jika sesuatu perlu ditambah berarti ia belum sempurna. Betul tidak? Saya rasa kita semua sepakat dengan hal ini.

Rasul 'alaihish sholatu wasalam bersabda: 

 مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian” (HR Thabrani)

Lalu Imam Malik rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengada-adakan di dalam islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya sebagai sebuah kebaikkan, sungguh dia telah menuduh bahwa Muhammad mengkhianati risalah, karena Allah Ta’aala telah berfirman (yang artinya):”Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmatku, dan telah kuridhai islam itu menjadi agama bagimu.” (al-Maidah:3) Maka sesungguhnya apa yang tidak menjadi agama pada hari itu, tidak menjadi agama pula pada hari ini."

Lalu, apakah tahlilan atau aruwa lahir dari islam?

Jujur sampai hari ini saya belum menemukan dalil tentangnya. Bagi yang tahu, mohon sebutkan di kitab mana dalil-dalil itu berasal.


Bukan Tak Cinta

Sekali lagi ini bukan catatan untuk menyalahkan namun membela diri dari celaan mereka yang menuduh tak cinta. Kata mereka, orang yang tak tahlilan berarti tak cinta orangtua. Orang yang tak tahlilan tak cinta pasangan atau anaknya. Ini sungguh kejam bagi saya.

Adakah orang yang tak ingin orangtuanya masuk surga? Adakah orang yang senang orangtuanya disiksa? Tentu jawabannya adalah tidak. Tidak ada anak, orangtua, istri, atau suami yang tega dengan semua itu.

Sebagai anak saya sangat cinta pada orangtua namun saya tak setuju jika diadakan aruwa atau tahlilan untuk mereka. Karena dalam pandangan saya itu sebuah dosa. Pandangan itu bukan sekedar hawa nafsu namun ditunjang dalil dan hujjah yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ketika ayah wafat resmilah saya menjadi yatim-piatu. Waktu itu saya masih berumur sepuluh tahun dan masih sekolah. Secara logika, saat itu kami membutuhkan perlindungan dan bantuan. Namun kenyataannya malah “dirampok” untuk acara tahlilan ayah. Hampir semua hewan peliharaan dipotong, beras tak bersisa, bahkan dalam suatu malam kami tidak makan karena semua persedian makanan telah habis. Waktu itu kakak tertua yang selalu menenangkan dan menguatkan saya untuk bersabar.

Saat itu kakak juga bercerita bahwa ketika ibu wafat, hampir semua tabungan ayah yang disiapkan untuk membangun rumah habis untuk acara kematian ibu yang berlanjut dari hari pertama sampai empat puluh, seratus hari dan seterusnya.

Bagitupun saat nenek wafat, saya saksikan bagaimana paman dan bibi mengumpulkan uang untuk membuat acara tahlilan. Bahkan ada yang menjual sapinya dan hutang sana-sini.

Sebenarnya pengorbanan itu menjadi sangat ringan buat mereka, sebab mereka melakukannya dengan dasar cinta. Namun yang sangat saya sayangkan bagaimana jika pengorbanan itu menjadi sesuatu yang sia-sia? Bagaimana jika amalan itu tertolak atau bahkan berbuah dosa?

Rasul Shallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak." (HR Muslim)


Jawaban Mengjengkelkan
“Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka” (QS. Az Zukhruf: 23)
Kadang saya bertanya kepada orang-orang yang dituakan mengapa harus melakukan semua ini? Jawaban paling menjengkelkan buat saya adalah: “Dari dulu nenek moyang kita sudah seperti itu, jadi kita juga harus mengikutinya”

Setiap mendengar jawaban seperti itu, dalam pikiran kasar saya, jadi kalau nenek moyang kita dulunya kafir maka kita juga akan ikut kafir?

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah." Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqmân/31:21]

Allahu Musta’an


Anda Orang Sesat

Banyak orang berkata bagitu, bahwa yang mengharamkan tahlilan adalah sesat. Bukankah tahlilan mengandung dzikir dan tahlil?

Saya sampaikan bahwa Rasul pernah mengatakan sesat kepada beberapa orang yang melakukan puasa dan shalat. Kenapa? Sebab tak sesuai aturan dan sunnahnya.

Dari Mujahid, ia berkata, aku dan Yahya bin Ja’dah pernah menemui salah seorang Anshor yang merupakan sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, para sahabat Rasul membicarakan bekas budak milik Bani ‘Abdul Muthollib. Ia berkata bahwa ia biasa shalat malam (tanpa tidur) dan biasa berpuasa (setiap hari tanpa ada waktu luang untuk tidak puasa). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

“Akan tetapi aku tidur dan aku shalat malam. Aku pun puasa, namun ada waktu bagiku untuk tidak berpuasa. Siapa yang mencontohiku, maka ia termasuk golonganku. Siapa yang benci terhadap ajaranku, maka ia bukan termasuk golonganku. Setiap amal itu ada masa semangat dan ada masa malasnya. Siapa yang rasa malasnya malah menjerumuskan pada bid’ah, maka ia sungguh telah sesat. Namun siapa yang rasa malasnya masih di atas ajaran Rasul, maka dialah yang mendapat petunjuk.” (HR. Ahmad).

Hadist di atas memberi tahu kita bahwa tak semua amal baik itu diterima. Amal baik takan di terima jika tidak sejalan dengan sunnah, jika tidak sesuai dengan tuntunan Rasul.


Belajar Adalah Kewajiban

Untuk itulah perlunya seorang muslim untuk belajar. Agar ia bisa mempertanggungjawabkan apa yang di perbuat. Andaipun Anda menganggap tahlilan adalah suatu kabaikan, bagi saya tak masalah asalkan anda bisa menjelaskannya. Dan kita bisa saling memahami setelah saling menjelaskan. Andapun tak bisa memaksa saya sebagaimana saya tidak bisa memaksa Anda.

Saya sangat menghormati mereka yang mau belajar. Entah ia seorang Nahdiyin, Muhammadiyah, Salafi, Wahdah, Persis, Ikwanul Mulslimin, HT, JT atau berbagai kelompok lainnya yang tak bisa di sebut satu persatu. Sebab menurut hemat saya, para pendiri kelompok tersebut yang nota bene adalah orang-orang terpelajar selalu bijak dalam menghadapi perbedaan.

Meskipun di antara mereka saling “menghujat” namun selalu ada pertanggungjawaban di dalamnya. Sebab mereka saling menginginkan kebaikan untuk saudaranya. Meskipun dalam buku atau ceramah mereka berapi-api, apabila bertemu selalu saling menghormati.

Berbeda dengan mereka yang hanya ikut-ikutan. Mereka inilah adalah oknum yang selalu menjadi perusak persatuan. Berani mencela tapi tak tahu apa alasannya. Jika ditanya, jawabannya begitu kata ustad saya, itulah kata kiai saya, seprti itu kata murobbi saya dan seterusnya.

Untaian kalimat ini bukanlah pembenaran atas semua kelompok di atas. Namun penghormatan untuk setiap mereka yang mau belajar dan mengkaji. Bukan sekedar ikut dan merasa paling pintar, bukan sekedar ikut dan merasa paling benar.

Penutup
Sekali lagi catatan ini bukan untuk menyalahkan tradisi, tapi untuk membela diri yang sering di sebut wahabi. Kawan, bukannya tak cinta. Tapi persepsi kita berbeda.


Share This Article


2 comments: