Berbagilah walau satu rupiah! Bersedekah meski hanya seuntai senyum! Bersedekah, berbagi, dan bahagia ^^

Ayah, Sebuah Catatan Dari Hati

Kawan, lama tak jumpa. Semoga kau baik-baik saja. Terus terang aku rindu padamu dan juga rindu untuk menulis di blog ini. Tapi, untuk saat ini ada banyak hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Untuk itu aku minta maaf.

Baiklah, kali ini aku akan bercerita tentang peristiwa yang sampai sekarang paling berkesan dalam hidup. Peristiwa yang sangat istimewah, penuh kenangan, pelajaran, air mata, cinta dan kerinduan. Ya, itulah peristiwa yang terjadi antara ayah dan aku.

Peristiwa ini terjadi saat aku masih duduk di kelas empat SD. Kira-kira saat itu umurku baru sepuluh tahun.

Seminggu atau beberapa hari sebelum peristiwa, terjadi kesepakatan antara aku dan ayah. Setelah pulang sekolah aku bebas kemana saja, dengan syarat setiap pukul tujuh malam harus sudah pulang ke rumah. Kesepakatan ini diambil karena beberapa hari sebelumnya, aku selalu pulang larut malam. Kira-kira pukul sembilan atau sepuluh. Benar kawan, untuk anak seusiaku saat itu, hal ini sudah dibilang larut.

Alhamdulillah sejak kesepakatan sampai sehari sebelum hari H, aku masih setia memenuhi janji itu. Benar, setiap pukul tujuh malam, aku sudah berada di rumah.

Nah, pada hari H-nya, pada hari peristiwa itu terjadi, semua masih berjalan seperti biasa.

Setelah pulang sekolah, aku langsung “kabur” dari rumah. Bermain kesana-kemari sesuka hati. Sore harinya ayah masih dengan pekerjaan yang ia lakukan sejak beberapa hari lalu. Beliau memperbaiki kandang ayam kami yang sudah rusak parah.

Pada sore hari itu juga, ibu susuku pergi menengok anaknya di kampung. Jarak antara rumah dan kampung sekitar sejam jika mengendarai angkutan kota. Saat itu beliau hanya berpamitan pada ayah tanpa berpamitan padaku. Sebab jika tahu, aku akan menangis untuk ikut dengannya atau menahan beliau untuk tidak pergi.

Kawan meskipun beliau bukan ibu kandungku, aku telah menganggapnya seperti ibu kandung. Asal kau tahu, ibu kandungku telah wafat sejak aku berumur sekitar satu tahun. Beliaulah yang merawatku sejak kecil. Sehingga sampai saat itu aku tak mau berpisah atau dipisahkan dengannya. Saat berpamitan, ayah sempat menahannya untuk tidak pergi. Meskipun beliau menyampaikannya dengan bercanda tapi seakan-akan ada sesuatu yang ingin disampaikan namun tak berani untuk berterus terang.

Masih sore yang sama, saudara sepupu yang membantu ayah memperbaiki kandang, juga berpamitan pergi ke rumah paman. Jarak rumah paman dengan tempat tinggalku sekitar empat jam kalau mengendarai angkutan kota.

Setelah shalat Magrib atau menit-menit menjelang isya, kakak perempuanku yang tercantik pergi minta izin untuk ke pesta temannya di desa seberang. Awalnya ayah tak mengizinkan, tapi setelah dipaksa, akhirnya beliau memberi izin. Namun seperti pada ibu susu, beliau seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi tak berani. Beliau hanya menggunakan isyarat-isyarat dalam perkataannya.

Dan aku, tepat pukul tujuh malam, telah selesai menonton flim kesukaan. Hatiku berbisik untuk pulang seperti janji pada ayah. Namun saat hati ingin pulang, teman-teman mengajakku untuk menonton PS (play station). Karena penasaran aku ikut dengan mereka.

Saat melangkah ke tempat penyewaan PS, aku melewati rumah tapi dari jarak yang cukup jauh. Ketika itu mata sempat menoleh ke arahnya. Dari sana hati rasakan pancaran kesunyian, kesepian, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Hatiku memaksa ingin pulang, tapi kakiku telah lebih dulu melangkah menjauh darinya.

Sekitar pukul 21.30 aku mulai merasakan kantuk. Sehingga tanpa disuruh hati berinisiatif untuk pulang.

Setelah tiba, ku dapati rumah dalam keadaan sunyi. Aku, seorang bocah kelas empat SD, bingung apa yang harus diperbuat. Sedang dalam hati ada perasaan aneh yang tak terdefinisi.

Aku pun mencari-cari kemana penghuni rumah pergi. Kemana ayah, ibu susu,dan kakak-kakakku, kemana mereka pergi?

Namun, tiba-tiba dari arah sekitar kamar mandi terdengar suara batuk. Dari suaranya aku tahu itu ayah. Lantas aku segera menuju ke sumber suara. Di sana ku temukan ayah sedang batuk dengan batuk yang tak henti-hentinya.

Setelah beberapa menit, beliau berjalan ke dalam rumah dengan sempoyongan. Aku perhatikan keseimbangannya seakan hilang. Hati ingin menolongnya untuk berjalan ke kamar tidur, tapi apalah daya, tubuh yang kecil tak bisa berbuat apa-apa dengan bebannya yang begitu besar.

Dengan sisa-sisa tenaga, ayah berjalan ke kamar menuju ranjang. Dari sudut dinding ke sudut lainnya beliau sandarkan tubuhnya. Ketika akan sampai di kamar tidur, kakak tertua datang. Rupanya dia pergi ke rumah nenek untuk menggambil obat salah seorang keluarga kami. Seorang yang dulu tinggal bersama kami dan beberapa hari yang lalu pindah ke rumah nenek. Beliau sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan. Beberapa hari lalu ketika masih tinggal di rumah kami, suami saudara nenek memberinya obat batuk. Nah, obat itulah yang diambil oleh kakak.

Dalam sekejap kakak memapah ayah hingga berbaring di kamar tidur. Kemudian beliau mulai mengucapkan kalimat: laa ilaaha illallah. Ayah berusaha mengikuti kalimat itu dengan sisa-sisa nafasnya. Sedangkan aku hanya bisa diam bercampur bingung dengan kejadian yang sangat cepat ini. Yang jelas mataku mulai berkaca-kaca dan hatiku mulai gelisah.

Dalam situasi yang kalut itu, entah kenapa aku keluar kamar menuju teras rumah. Saat itu entah apa yang ada dipikiranku. Terus terang hati bingung bercampur sedih.

Setelah dua atau tiga menit, aku kembali ke kamar. Dan.. dan.. dan..

Dan aku dapati ayahku telah pergi. Pergi untuk selamanya, meninggalkanku yang saat itu masih seorang bocah kelas empat SD.

Tanpa dikumando airmatapun mulai berlinang. Aku diam membisu. Kemudian ku pandang wajah kakak, matanya merah menahan tangis. Dengan penuh ketenangan atau berusaha untuk tenang, dia menyuruhku memanggil paman yang tinggal di samping rumah serta tetangga-tetangga lainnya untuk mengabarkan bahwa ayah telah wafat.

Aku berlari kencang ke rumah paman. Setelah tiba, aku kabarkan padanya. Namun dari raut muka dan suaranya menandakan beliau tidak percaya. Begitupun dengan tetangga-tetangga lainnya, mereka tidak percaya. Karena mereka tahu, ayah hingga malam itu masih dalam keadaan sehat wal afiat. Bahkan sore harinya masih memperbaiki kandang, masih bisa mengangkat bambu-bambu yang besar, dan masih bisa tertawa dan bercanda dengan mereka yang lewat depan rumah.

Bahkan kebanyakan dari mereka mengira bahwa aku salah sebut. Mereka mengira bahwa yang meninggal adalah orang yang dulunya tinggal ditempat kami. Orang yang dikunjungi kakak untuk meminta obat batuk tadi.

Setelah mengabarkan, aku langsung pulang ke rumah. Ku dapati rumah sudah penuh dengan suara tangis. Terlebih ketika kakak perempuan tiba, tangisan itu kian menggema. Betapa terpukulnya ia. Semua yang keluar dari mulutnya adalah kalimat penyesalan. Menyesal karena bersikeras untuk pergi ke pesta temannya.

Ibu susu.. beliau pulang dengan linglung tanpa sepenuhnya sadar. Beliau tidak percaya kalau ayah sudah meninggal. Sampai-sampai beliau tak sadar kalau sandal yang dipakainya berbeda antara satu dan lainnya.

Kakak tertua.. beliau tentunya sangat sedih. Tapi beliau memiliki pengendalian diri yang kuat. Ada yang berkata kalau malam itu dia shalat sambil menangis. Dia mengeluh kepada Sang Pemilik Ruh, Allah Ta’ala.

Dan aku.. aku tak ingat lagi peristiwa setelah itu. Yang pasti aku tertidur di tumpukan bantal karena lelah menangis.


***

Kawan, saat menulis tulisan ini, aku teringat masa-masa indah bersama ayah.

Saat beliau membuatkan aku panah dari bambu sehingga tangannya terluka.

Saat beliau merawat ketika kuku kakiku hampir lepas. Sewaktu kecil kuku kakiku sering lepas. Aku tak tahu apa sebabnya. Yang jelas ayah selalu menggendong jika aku sakit seperti itu.

Saat bermain bulu tangkis dengannya. Kawan, saat itu kami menggunakan kok dari bulu ayam yang di pasang ditongkol jagung beserta raket yang terbuat dari papan atau tripleks. Meskipun sederhana tapi beliau selalu mewujudkan apa yang ku minta.

Ketika beliau membelikan pistol saat aku sakit. Setelah itu aku langsung sembuh saking gembiranya.

Saat aku memakai sepedanya hingga beliau terlambat masuk kerja. Beliau tidak marah kawan.

Saat aku membuat martabak mi dengannya. Kami mulai setelah shalat isya. Tiga bungkus mi dan tiga telur habis, tapi martabaknya tak jadi-jadi. Beruntung ibu susuku bangun, sekali buat langsung jadi.

Dan yang paling berkesan buatku adalah saat beliau mengambil raport. Kawan beliau tak pernah absen untuk menerima raport. Apapun pekerjaan dan kesibukkannya, beliau selalu hadir untuk menerima raportku. Dengan sepeda kesayangannya beliau selalu datang tepat waktu. Dan saat namaku disebut sebagai juara kelas, beliau tersenyum bangga padaku. Senyum bangganya itu adalah hadiah yang sangat berarti bagiku. Senyum yang selalu memotivasiku untuk terus juara. Senyum yang akan selalu ku kenang. Senyum yang tak pernah aku lihat semenjak peristiwa itu. Bahkan meskipun aku menjadi yang terbaik di sekolah, senyum itu telah hilang dan tak dapat aku saksikan lagi.

***

Kawan, hidup tanpa orangtua itu sunguh tidak mengenakan. Saat sakit, kalah, atau bahkan bahagia, kepada siapa kau berbagi? Saat menang, siapa yang akan memelukmu dengan bangga? Saat kalah, siapa yang akan menyemangatimu untuk bangkit lagi? Saat terluka, siapa yang akan mengobati lukamu? Saat mendapat peringkat pertama, adakah orang yang lebih bangga padamu melebihi ayah? Atau saat kau patah hati, adakah yang lebih tahu luka hati melebihi ibu?

Kawan, seandainya anak-anak yatim itu tidak mengenal Penciptanya, maka mereka akan terus merasa hampa, sunyi, sepi, sedih, tak bahagia dan putus asa dalam menjalani hidup ini. Namun hati yakin, dalam setiap kejadian selalu ada hikmah yang dapat dipetik. Kita memang bisa bertanya, tapi yakinlah bahwa apa yang Allah تعالى tuliskan itu jauh lebih baik dan indah dari apa yang kita sangka.

Sungguh, sekali lagi hidup tanpa orangtua itu sungguh sangat tidak mengenakan, tapi lebih tidak mengenakan lagi, punya orangtua namun hanya menyia-nyiakan mereka, punya orangtua namun tidak bisa membahagiakan mereka, punya orang tua namun selalu menyakiti hati mereka, punya orangtua tapi selalu membuat mereka kesal, marah, dan menangis, punya orangtua namun lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman, punya orangtau namun tak pernah membalas kebaikan mereka meskipun hanya dengan kecupan hangat dan ucapan terimakasih, punya orangtua namun tak pernah mendoakan mereka, punya orangtua namun tidak bisa membuat dirinya masuk kedalam surga.

Kawan, jika belum bisa membahagiakan mereka, minimal jangan buat mereka bersedih! Jika belum bisa memberi mereka uang minimal jangan menjadi beban! Jika belum bisa membuat mereka tersenyum, minimal jangan buat mereka menangis!

Kawan, sesuatu yang berharga kadang baru terasa saat ia telah tiada. Jangan sampai kesadaran itu datang saat mereka telah pergi meninggalkanmu.

Kawan, sering kali penulis saksikan banyak orang bertobat setelah kematian orang yang ia cintai (ayah, ibu, suami, istri, ataupun anak), namun sayang mereka kembali lupa setelah berlalu masa yang panjang. Mungkin mereka menanti kematian orang yang ia cintai lainnya untuk bisa kembali bertobat. Namun, jangan sampai kitalah yang menjadi sebab orang lain bertobat karena mereka kehilangan orang yang ia cintai.

Semoga permisalan yang sederhana ini dapat membuka pirikiran kita, karena orang yang cerdas adalah mereka yang mengerti meskipun hanya dengan sekedar isyarat. Tulisan ini penulis sembahkan untuk teman-teman penulis semasa kecil, berubahlah kawan, aku selalu menunggu kalian dimasjid.. ^^

”Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Alhadid 16)
***


Kisah ini terjadi di Gorontalo, ditulis di Sukabumi, dan diposkan di Batam

Kapan ya bisa ke Kalimantan dan Papua?



Share This Article


12 comments:

  1. Sungguh mengharukan.. Dan menyadarkan diri..

    Kalau penerbit.. Bisa mungkin coba kesini >> http://mozaikindie.wordpress.com/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sangat mengharukan.
      namun itu jalan Tuhan yang harus kita lalui,
      Semoga kedua orang tua kita di berikan kebahagian abadi di dunia dan akhirat,
      Amin

      Delete
  2. Aq menangis bc ini,spt aq saat2 trkhr alm.bpk gak bs ada disisinya,hanya doa yg sllu aq kirim utk bpk,love u bapak

    ReplyDelete
  3. Tidak kuat melanjutkan membaca hingga selesai...ingin segera memeluk ayahanda (usia 80 thn) di kmr sebelah..terimakasih utk tulisan indahnya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. salam buat beliau.. semoga diberi kesehatan dan keberkahan umur :)

      Delete
  4. Mata smpe bengkak krn nangis :'( orang tua sy sudah berpisah, alhamdulillah mereka masih ada walaupun tdk bs bersama :'(

    ReplyDelete
    Replies
    1. doa adalah bakti yang tak pernah terhalang oelh waktu dan tempat.. doakan terus mereka :)

      Delete
  5. hebat , jadi nangis sama kangen ayah

    ReplyDelete