Berbagilah walau satu rupiah! Bersedekah meski hanya seuntai senyum! Bersedekah, berbagi, dan bahagia ^^

Ibu, Maafkan Aku Tak Lulus UAN

Saya tidak mengawas lagi hari ini. Ya, pasalnya kemarin adalah hari terakhir SMK untuk mencicipi hidangan UAN. Banyak peristiwa ‘heboh’ saya dapatkan. Bukan karena adanya CCTV, bukan pula ada siswa kesurupan dalam ruangan ujian. Ini adalah hal baru dan mungkin bagi para pengawas pun sempat mendapati keadaan seperti ini. Apa itu?

Ada seorang siswa yang ‘menangis’ di saat UAN Matematika. Saya melihatnya begitu perih menyaksikan deretan angka pada lembaran soal. Awalnya biasa saja ketika mengisi data di lembar jawaban. Lalu, setelah itu, ia membuka lembaran soal, apa yang terjadi? Embun air mata sedang melingkupi alis matanya.

“Mengapa menangis, dek?” saya telusuri sebab.

Dia hanya melongo.

Saya tak tega. Maka teringatlah saya dengan
diri sendiri. Betapa ’susahnya’ menjadi anak yang ‘tak membekali diri’. Hanya mau menanti ‘hujan’. Sementara, di luar sana, kita menyaksikan banyak anak-anak memperjuangkan ‘kejujuran’ bertempur melawan UAN.

Wahai anak-anakku, mengapa harus menangis?

Apa yang selama ini engkau lakukan selama 3 tahun? Pacaran?

Menghabiskan waktu di bersama genk motor?

Ah, engkau telah menyia-nyiakan umur terbaikmu. Dan kini hari akhir itu sudah di depan mata.

“Memang penyesalan datangnya terakhir!” kalimat hentakan yang saya lontarkan di saat mereka mulai risau menanti kunci jawaban.

Sungguh, anak-anak kita terlalu instan. Bak indomie saja, mau makan tinggal siram, tambahkan bumbu. Selesai 3 menit.
Perhatikan ini, pendidikan itu ‘lama’. Yang namanya belajar itu tak ada yang instan. Semua melalui proses. Bayangkan saja, Imam Ahmad rohimahulloh saat mempelajarai Bab Haid, itu sekitar 8 tahun.

Subhanalloh.
Angka yang menakjubkan bagi kita. Sementara anak kita, maunya sehari sudah bisa menjawab. Mengisi lembar LJUN. Menunggu SMS balasan dari sekolah lain.

Sudahlah, tangisan tidak akan memberikan perubahan. Hentikan tangisanmu, nak. Masih banyak ‘ujian’ lebih apik untuk ditempuri. Ada ujian kehidupan, apalagi kematian. Persiapkan dirimu dengan bekal UAN sebagai awal, sebagai latihan untuk ujian berikutnya.

Teringatlah saya dengan tangisan seorang anak SMA di sebuah sekolah tahun lalu,

“Ibu , maafkan aku,” ungkapannya saat melihat amplop yang berisi keterangan bahwa dirinya tak lulus UAN. Namun, apa yang ia katakan pada gurunya?

“… aku gagal membuat bangga sekolah kita,” ungkapannya sembari menjatuhkan air mata di pelukan gurunya.
Dan sangat terharulah kita saat ia berdoa dalam bisikan di pelukan gurunya,

“Ya Allah, walaupun aku telah berusaha beribadah dengan taat dan benar kepadaMu, belajar dengan giat dan sungguh-sungguh karenaMu, menjaga kejujuranku saat mengikuti  Ujian Nasional karena aku tahu aku dalam pengawasanMu. Namun tetap Engkau takdirkan aku tidak lulus ya Allah, aku ikhlas menerimanya. Aku rela menerima ketentuanMu ya Rabbi, aku terima semuanya dengan lapang hati.”

***

Kini, anak SMA yang menuai ujian akhir di hari ini. Hari Kamis ini tentunya berbeda dengan Kamis kemarin. Namanya sama, tapi ‘ketegangan’ hari ini lebih kompleks. Saya yakin kamu bisa, nak. Maka yakinlah pula, bahwa kamu pun demikian bisa! Barokallohu fik….

Pesan: hentikan konvoi, parade pilox-pilox, lebih baik menata diri dengan evaluasi dosa selama ini, nak.

Disalin dari catatan facebook oleh Artup Radnansuk pada 19 April 2012 pukul 7:56


Share This Article


No comments:

Post a Comment