Syukur,
apa yang Anda tahu tentang syukur?
Apakah
syukur itu hanya sekedar ucapan “alhamdulillah” yang keluar dari lisan saat
mendapatkan kebahagiaan? Atau adalah acara syukuran yang diadakan saat
menjalani momen-momen yang menyenangkan?
Sebuah
ceramah singkat dari seorang teman telah membuat kami menyadari bahwa arti
syukur bukan hanya itu, bahwa makna syukur lebih dalam dari dua arti diatas.
Ceramah itu beliau sampaikan saat ittikaf 10 malam terakhir dibulan Ramadhan
masjid Mus'ab bin Umair. Ceramah yang dihiasi tangis itu, telah membawa bekas
dalam hati para jama'ah khususnya kami sebagai penulis. Namun dalam tulisan ini
kami tak akan mengutip semua yang beliau sampaikan, kami hanya akan bercerita
tentang syukur sesuai dengan apa yang kami pahami dari ceramah tersebut.
Syukur
tentunya memiliki makna yang sangat dalam, yang seandainya orang-orang
benar-benar memahami makna itu maka pasar-pasar malam disepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan akan menjadi sepi, masjid-masjid akan menjadi penuh, dan
orang-orang akan berlomba-lomba melakukan kebaikan.
Untuk
memahami makna syukur yang sebenarnya, marilah kita simak hadist yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim: Rasul pernah shalat sampai-sampai
kedua kakinya bengkak (karena lamanya shalat), maka Aisyah berkata padanya,
“kenapa kau melakukan semua ini ya Rasulallah? Bukankah Allah telah mengampuni
dosa-dosamu yang telah lalu dan akan datang?” Maka beliau menjawab: “Apa tidak
pantaskah aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?”
Itulah
ungkapan syukur yang sesungguhnya. Syukur yang dilanjutkan dengan amal yang
nyata, syukur yang direalisasikan dengan mematuhi apa yang diperintahkan Allah
Ta'ala dan menjauhi apa yang dilarangNya. Untuk itu, sebagai hamba yang
diamanahkan harta yang berlimpah, maka tanda syukur adalah mengeluarkan zakat
dan sedekahnya. Bagi yang dikaruniakan fisik yang lengkap, maka tanda syukur
adalah menggunakan fisik tersebut dalam ketaatan. Bagi yang masih punya
orangtua, maka berbakti pada mereka adalah tanda kesyukuran. Bagi yang diberi
kecantikan wajah, maka menggunakan jilbab adalah bentuk kesyukuran. Bagi yang
telah tersentuh hidayah, maka istiqomah adalah bentuk kesyukuran dan bagi yang
masih berkubang dalam kemaksiatan maka bertobat adalah bentuk kesyukuran.
Kawan,
sehatnya badan, banyaknya harta, lapangnya rizki, serta wajah yang rupawan
bukanlah jaminan bahwa Allah Ta'ala sayang sama kita. Karena semua itu hanyalah
ujian apakah kita mau bersyukur atau tidak. Bagi yang bersyukur maka nikmat itu
akan ditambah, sedang bagi yang tidak maka ingatlah azab Allah amatlah pedih.
Allah Ta'ala berfirman : "..Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS Ibrahim ayat 7)
Nikmat
Yang Berlimpah
Tanpa
disadari, sekarang ini kita hidup dalam limpahan nikmat Allah Ta'ala. Jangan
jauh-jauh, dalam diri kita saja, nikmat itu sudah tak terhitung jumlahnya.
Adakah orang yang mau menukar matanya dengan tumpukan emas sebesar gunung?
Tahukah kita berapa harga oksigen yang dihirup jika harus menghirupnya dirumah
sakit? Atau, berapa biaya cuci darah jika ginjal sudah tak mau bekerja?
Sungguh, nikmat-nikmat itu tak akan bisa dihitung meskipun kita bahu-membahu
untuk menghitungnya. Karena Allah berfirman: “Dan jika kamu menghitung-hitung
nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitungnya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS 16 ayat 18)
Nikmat
Terbesar
Dari
beribu nikmat yang telah Allah karuniakan kapada kita, ada satu nikmat terbesar
yang patut direnungi dan disyukuri. Nikmat yang begitu berharga, tak ternilai
harganya. Nikmat yang tidak didapatkan oleh semua manusia. Nikmat yang
tanpanya, hidup ini bagaikan bangkai yang berjalan. Ketahuilah nikmat itu
adalah nikmat iman.
Bagi
mereka yang terlahir dalam lingkungan islam, dari orangtua muslim, dan di
negara islam, kadang tidak merasakan mahalnya nikmat ini. Tapi bagi mereka yang
hidup di daerah minoritas dan konflik, dapat merasakan batapa mahalnya menjadi
seorang muslim. Maka tak mengherankan jika mereka rela dibunuh, dibakar,
diusir, dan diperangi demi mempertahankan keimanannya. Sedangkan mereka yang
semula telah hidup dalam naungan islam, kadang tak berpikir panjang menukar
keimanannya hanya dengan sekardus mie intsan.
Adapula
yang tak sampai hati menukar keimanannya, namun mereka malas-malasan dalam
menjalankan agama ini. Contoh kecilnya dalam melaksanakan perintah shalat. Jika
dihitung dari jumlah umat islam yang ada didaerah ini maka jumlah masjid tak
akan sanggup menampung jumlah tersebut jika seluruh umat islam pergi kemasjid
untuk melaksanakan shalat. Tapi kenyataannya masjid selalu kosong dan sepi.
Mungkin mereka tak tahu kalau disebagian negara di Eropa sana, izin untuk
mendirikan suatu masjid sangatlah sulit dan dipersulit.
Contoh
kecil lainnya adalah menutup aurat. Jika kita tengok kejalan-jalan, ada berapa
banyakkah gadis muslimah yang memakai jilbab? Dari gadis muslimah yang memakai
jilbab itu, ada berapakah yang jilbabnya besar dan longgar?
Entah
virus apa yang telah menjangkiti para gadis itu, tapi semoga Allah Ta'ala
memperbaiki keadaan mereka. Namun sebagai renungan, apakah mereka tak tahu
kalau muslimah di Prancis harus membayar denda jika tetap teguh menggunakan
busana kehormatannya?
Sungguh
fenomena-fenomena diatas sangatlah memiriskan hati dan menimbulkan tanya;
itukah balasan yang setimpal dengan berbagai kenikmatan yang selama ini Allah
limpahkan kepada kita? Apakah ini yang dinamakan syukur? Maka pantaslah Allah
Ta'ala terus bertanya dalam surat Arrahman dengan satu pertanyaan, pertanyaan
yang terus diulang, pertanyaan yang menggetarkan hati; “Maka nikmat Tuhanmu
yang manakah yang kamu dustakan”?
Ya,
nikmat apalagi yang akan kita dustakan?
Semoga
yang singkat ini bisa membuka hati yang semakin keras. Entah kapan akan
berubah, yang pasti kematian itu waktunya takan berubah. Tak pandang muda,
sehat, kaya, atau rupawan, karena jika tiba gilirannya pasti tepat sasaran. Tak
pandang pagi, siang, petang, ataupun malam, sebab jika tiba waktunya pasti
datang tepat waktu.
Terakhir,
untuk teman-teman penulis yang sempat membaca tulisan ini, satu kata untukmu,
“kami tunggu kalian di masjid dan masjid selalu menunggu kalian.” Ingat, tidak
ada kata terlambat bagi orang yang mau berubah, karena terlambat itu hanya bagi
mereka yang tak mau memulai. Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita termasuk
orang-orang yang senantiasa berpikir dan merenung. Karena merenung itu insya
Allah lebih dekat dengan hidayah. (Senyum Syukur)
Share This Article
No comments:
Post a Comment